Oleh: Ksatriawan Zaenuddin
�Kekuasaan bisa dipandang sebagai kekuasaan dengan daipada kekuasaan atas, dan kekuasaan dapat digunakan untuk membangkitkan kompetensi dan kooperasi, bukannya dominasi serta pengendalian�
ANNE L. BARSTOW
Tax Amnesty merupakan program pengampunan yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak meliputi penghapusan pajak yang seharusnya terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun 2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan), dengan cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan. (Sumber: Situs Pajak.co.id/amnesty pajak).
Kebijakan yang telah lama dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, mendapat balasan dari DPR RI, dengan disahkannya pada tanggal 28 Juni 2016 dalam UU RI No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Kebijakan yang berlangsung selama 3 periode, kini telah memasuki periode II, hingga menunggu batas akhir dari periode kebijakan ini yakni Maret 2017.
Tujuan dilaksanakannya Tax Amnesty, sebagaimana tercantum dalam UU RI No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak BAB II (Asas dan Tujuan), Pasal 2 No. 2 huruf a, b, dan c, yang pada intinya, mempercepat pertumbuhan dan resktrukturisasi (penataan kembali) ekonomi melalui pengalihan harta, mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, dan meningkatkan penerimana pajak yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Sedangkan menurut Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan RI: �Tax Amensty adalah upaya bangsa Indonesia untuk membangun bangsa yang lebih baik, masyarakat berpartisipasi dan negara wajib melakukan tugas konstitusi, melindungi, dan menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.� (Situs: pajak.go.id)
Kebijakan yang berlangsung selama 3 periode, kini telah memasuki periode II. Jumlah yang ditargetkan pemerintah sebanyak Rp. 3. 620 Triliun. Target ini, dari data jumlah peserta Tax Amnesti sebanyak 366. 768 wajib pajak dan dari Repatriasi sebanyak Rp. 137 Triliun, Deklarasi harta dalam negeri Rp. 951 Triliun, sedangkan Deklarasi harta diluar negeri Rp. 2.532 Triliun. (Situs: Pengampunanpajak.com)
Kebijakan yang banyak diperbincangkan di Indonesia sebenarnya pernah di selenggarakan pada tahun 1964 di bawah rezim Soekarno dan 1984 di bawah rezim Soeharto. Bedanya, Tax Amnesty saat itu, mengalami kegagalan. Sedangkan Tax Amnesty di bawah rezim Joko Widodo, dikatakan berhasil dari segi pelaksanaannya dan efek yang ditimbulkannya.
Beberapa contoh keberhasilan Tax Amnesty era Joko Widodo. pertama: mengundang banyak sanjungan dari dalam negeri dan diluar negeri yang dibuktikan dengan meningkatnya kas negara dari hasil pengumpulan berbagai uang pajak pada periode I yakni sebanyak Rp. 97,2 Triliun. Sedangkan yang kedua: implikasi dari bertambah kas negara adalah terjadinya penguatan rupiah dari Rp.13.000-an ke Rp. 12.000-an. Sebagaimana yang dikatakan Sri Mulyani: �Ini terlihat dari sisi arus kapital (modal) yang masuk ke dalam negeri, ditambah dengan Tax Amensty maka jumlah itu menjadi relatif sangat kuat dibandingkan pola yang sama pada tahun lalu, yang bisa menjelaskan kenapa dari sisi mata uang Rupiah kita mengalami penguatan.� Yang dilansir dalam beberapa media online.
Akan tetapi, Tax Amnesty turut mengundang banyak kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat. Pasalnya, mengkaji arti Tax Amnesty itu sendiri, dengan logika sederhana yang menjadi perhatian bagi kita adalah penghapusan sanksi administrasi perpajakan dan penghapusan sanksi pidana dibidang perpajakan. Menilai dari hal ini, telah menyiratkan sebuah ketidakwarasan dari pemerintah. Melegalkan untuk sebuah tindakan hukum kriminal perpajakan dari para pengusaha baik dalam negeri dan diluar negeri yang tentu saja mendapat keuntungan yang melegakan bagi mereka, untuk sebuah pelanggaran hukum yang dilakukannya pada zaman dulu.
Begitu pula dengan redaksi arti tax amnesty yakni �cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan�. Hal ini dapat kita katakan bahwa hukum dibayar dengan uang. Pelanggaran atau sanksi tidak ada lagi gunanya, dan berupa penumpukan secarik kertas dalam UU RI No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa seluruh warga negara membayar pajak dan menerima sanksi ketika dilanggar.
Lalu dalam Pasal 21 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2016 bahwa �Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada yang lain.� Kecurigaan kita semakin menjadi-jadi karena data peserta Tax Amnesty menutup kesempatan untuk dibongkarnya para pengemplang pajak dan kasus kriminal yang telah lama bercokol di luar negeri dan dalam negeri sehingga berbagai kasus pelanggaran hukum tidak dapat diketahui dari mana asal muasal kekayaannya. Apakah memang murni dari usaha/pendapatan legal ataukah sebaliknya? Bukankah ini salah satu usaha pemerintah untuk melindungi para koruptor, penjahat, kriminal dan sejenisnya?
Kontroversi selanjutnya dalam UU RI No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak pada BAB II (Asas dan Tujuan), Pasal 2 ayat 1 huruf c dan ayat. 2 huruf b yakni mengenai kata keadilan. Keadilan yang dimaksud seperti apa? Ketika terdapat sebagian orang yang diuntungkan dengan adanya Tax Amnesty atas lepasnya dari jeratan hukum, lalu bagaimana dengan orang-orang yang menjalankan hukum tersebut yang kini berada dibalik jeruji penjara?.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik yakni Busyora Muqoddas, bahwa kebijakan Tax Amnesty tak memiliki arah dan karakter hukum yang jelas dan terukur, sesuai dengan Pasal 1, 28, dan 33 UUD 1945 yang memuat nilai-nilai demokrasi dan HAM bahwa �faktanya, perumusan pasal-pasal dalam UU Pengampunan Pajak ini tak memenuhi unsur-unsur prosedur demokrasi.�. Ditambah lagi menurutnya, �adanya penyusunan secara sepihak ini telah mencederai proses demokrasi�. Yang terlebih dahulu adalah dengan judicial review. ujar dalam Rakernas Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah yang digelar di Yogyakarta 26-28 Agustus 2016.
Senada, menurut Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Syaiful Bahri bahwa UU yang disahkan DPR pada bulan Juli, berperspektf sempit yang hanya bertujuan menambah pendapatan Negara. �Tapi tidak berkeadilan sosial dan permisif dalam pelanggaran hukum.�
Tax Amnesty dapat kita katakan sebagai upaya melegitimasi motif terselubung para pengemplang pajak. Dakwaan yang harusnya didapatkan oleh para pengusaha atas pajak belum dibayarkan, dan berbagai tindakan kriminal yang dilakukannya baik didalam negeri (masa silam) dan diluar negeri dipersenjatai dengan aturan, sehingga jerat hukum yang harusnya sudah lama mereka dapatkan, kini dapat lega ibarat diberikan sebuah �diskon.�
Hal ini menjadi sebuah kontroversi tersendiri dari kebijakan Tax Amnesty yang berupa iming-iming untuk membangun bangsa Indonesia, akan tetapi terdapat suatu aturan yang harusnya ditepati, ditaati dan mengikat seluruh warga Negara, toh ternyata terdapat sebagian elemen masyarakat Indonesia mengalami pembedaan dari sisi hukum. Pemerintah Republik Indonesia telah melanggar dan menciderai semangat �equality before the law� (persamaan dimata hukum), memberikan citra buruk kepada masyarakat berbanding terbalik dengan kebijakannya yakni Revolusi Mental.Pemerintah seluruh berpesan untuk seluruh waga negara taat dengan hukum, tapi Tax Amnesty sebuah kebijakan pelanggaran hukum. Bukankah ini adalah sebuah pemakzulan hukum yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis oleh Pemerintah Republik Indonesia?
Post a Comment