Latest News

Sunday, April 29, 2018

"Tdk cukup kita memiliki, membaca, mengasihi, mempelajari, dan mengetahui Alkitab"




"Tdk cukup kita memiliki, membaca, mengasihi, mempelajari, dan mengetahui Alkitab"
Kita perlu mempertanyakan diri kita: Adakah Kristus yg di dlm Alkitab itu menjadi pusat hidupku?
Jika tdk, semua penggalian Alkitab kita sia-sia, sebab Dialah tujuan utama kpd siapa Alkitab menunjuk: utk Dia Alkitab menjadi alat.

http://jmginting.blogspot.co.id/2017/04/alkitab-buku-untuk-masa-kini-by-john.html

Thursday, April 19, 2018

PENCEGAHAN KORUPSI YANG BERSINERGI

Sebuah negara yang dikategorikan sebagai negara maju setidaknya memiliki 2 (Dua) aspek penentu ini, yaitu aspek pertahanan dan perekonomian. Pertanahan merupakan perwujudan kemampuan suatu negara untuk membela diri dari ancaman pihak lain atau pun ancaman dari dalam negeri sendiri, sekaya apapun dan sebesar apapun pendapatan suatu negara, tentu tidak sempurna jika tidak memiliki kemampuan mempertahankan aset, budaya, kekayaan alam, wilayah dan rakyatnya. Kekuatan perekonomian adalah perwujudan dari kemampuan suatu negara membiayai diri sendiri, tanpa terlalu banyak bergantung pada pihak lain, sehingga dengan perekonomian yang baik suatu negara dapat secara bebas mengatur hidupnya sendiri, memenuhi segala kebutuhan dalam negeri bahkan mengatur negara lain melalui kerja sama perdagangan. Kekuatan pertahanan dan perekonomian itu menjadi mustahil tercapai jika ada perilaku yang digolongkan penyakit kronis suatu negara, yang dapat meruntuhkan kekuatan pertahanan dan perekonomian yang sudah mapan dan dapat pula menghalangi tercapainya kemandirian pertahanan dan perekonomian, ibarat penyakit diabetes yang menggerogoti secara perlahan, senyap namun pasti kesehatan tubuh kita, penyakit itulah yang disebut Korupsi.
Sejarah telah mencatat bahwa indonesia telah banyak membentuk lembaga yang fokusnya untuk memberantas praktek kecurangan terhadap pengelolaan keuangan negara, dari era revolusi Presiden Soekarno tahun 1960 yaitu Panitia Retooling Aparatur Negara, Operasi Budhi (1963), Tim Pemberantasan Korupsi (1967), Komisi Empat (1970), Komite Anti Korupsi yang melibatkan aktifis mahasiswa pada tahun 1970, Operasi Penertiban-OPSTIB (1977), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000), Komisi Pemberantasan Korupsi (2002) hingga Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – Timtas Tipikor (2005). Keberadaan lembaga dan tim khusus pemberantasan korupsi itu mengalami pasang surut, menjadi bukti betapa Penyakit Korupsi itu begitu sulit diberantas. Paradigma penindakan, pemberantasan atau pemusnahan penyakit korupsi itu ternyata tidaklah efektif, karena yang dilakukan lembaga di atas adalah korupsi yang sudah terlanjur, sehingga cukup memberikan edukasi terhadap pihak-pihak yang belum atau sedang melakukan korupsi. Oleh karena itu saat ini pemberantasan korupsi di Indonesia di fokuskan pada pencegahan melalui sosialisasi-sosialisasi, even dan kegiatan pencegahan.
Berdasarkan UUD Tahun 1945, dibentuklah BPK RI yang bertujuan untuk meningkatkan manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka mendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara dan Meningkatkan pemeriksaan yang berkualitas dalam mendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang merupakan lembaga terdepan yang mengawal harta negara bersama dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sangat efektif mencegah terjadinya korupsi. Keberadaan BPK RI yang secara rutin melakukan audit mampu mendeteksi secara dini permasalahan pengelolaan keuangan negara, sehingga mampu mencegah penyimpangan yang lebih besar. Luasnya kewenangan BPK RI menjadikan jumlah objek pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK RI mencakup seluruh anggaran yang bersumber dari APBN/APBD pada Kementerian/Lembaga/Pemerintahan/BUMN/BUMD yang ada. Namun dari segi jumlah personil, BPK RI masih sangat kekurangan Auditor dibanding jumlah objek pemeriksaan yang harus ditangani, ditambah lagi banyaknya jenis-jenis pemeriksaan, seperti Audit Keuangan, Audit Kinerja, Audit Dengan Tujuan Tertentu, Audit Investigasi, Evaluasi dan reviu yang harus dilakukan BPK RI. Minimnya jumlah auditor menjadikan pemeriksaan dilakukan secara Sampling dengan pertimbangan risiko yang ada pada objek tersebut, sehingga dalam satu tahun tidak semua objek pemeriksaan akan dilakukan pemeriksaan oleh BPK RI, akibatnya ada objek pemeriksaan yang hingga saat ini belum pernah diperiksa.Seperti kebijakan pemerintah meningkatkan anggaran pemerintahan desa menjadi 1 milyar, jika dilihat dari banyaknya jumlah desa yang ada serta minimnya kemampuan SDM perangkat desa dalam mengelola keuangan, menyebabkan terjadinya potensi penyimpangan yang besar. Untuk itu perlu adanya pengawasan yang intensif terhadap pengelolaan keuangan desa. Saat ini lembaga yang rutin mampu menjangkau pengawasan anggaran desa adalah Inspektorat Kabupaten/Kota, namun dengan kondisi yang berbeda-beda setiap daerahnya tergantung bagaimana kebijakan kepala daerah dalam mendukung pengawasan di daearh masing-masing. Misalnya terkait anggaran sarana dan prasarana, pendidikan dan pelatihan, perekrutan tenaga pemeriksa ataupun dukungan tindak lanjut hasil pengawasan. Selain itu adanya beberapa jenis fungsional yang melakukan pengawasan juga menjadi tantangan tersendiri, hal ini dikarenakan masing-masing fungsional memilik lembaga pembina yang berbeda, tidak jarang pada tataran teknis terjadi kesulitan dalam kerjasama yang dilakukan.
Banyaknya lembaga pencegahan korupsi di Indonesia yaitu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) seperti BPKP, Inspektorat Kementerian/Lembaga, Provinsi dan Kabupaten/Kota  harusnya dimanfaatkan secara maksimal demi tercapainya pengawalan harta negara secara efektif. Saat ini jumlah APIP yang ada di Indonesia sebanyak 16.000 orang, berdasarkan kajian oleh KPK masih diperlukan 30.000 orang APIP demi mencapai postur ideal pengawasan. Untuk itu perlu adanya kerjasama pembinaan dan standarisasi pemeriksaan, sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan kebutuhan BPK RI dalam melakukan pemeriksaan. Porsi pembinaan BPK RI terhadap APIP harus ditingkatkan, potensi jumlah SDM Auditor yang sudah terstandarisasi oleh BPKP menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menutupi kekurangan jumlah personil BPK RI.
Saat ini pemberantasan  korupsi terkesan keroyokan, dimana semua lembaga berlomba-lomba unjuk gigi dalam memberantas korupsi, namun terlihat seolah-berjalan masing-masing. KPK yang merupakan Icon pemberantasan korupsi pada awalnya di khususkan untuk memberantas korupsi yang bernilai di atas Rp. 1 Milyar, namun sering berjalan waktu KPK juga melakukan kasus-kasus yang berkategori di bawah Rp. 1 Milyar. Seperti kasus penyuapan pengacara salah satu artis kepada Hakim, atau pun operasi tangkap tangan terhadap pejabat-pejabat di daerah yang nilai nya receh. Selain KPK, Kejaksaan dan Kepolisian R.I juga semakin giat melakukan upaya pemberantasan korupsi, dimana unit-unit khusus seperti Tipidkor di Polres ataupun Pidsus di Kejaksaan Negeri semakin aktif melakukan pengusutan-demi pengusutan kasus korupsi. Akhir-akhir ini juga telah dicanangkan Tim Saber Pungli yang fungsinya memberantas praktek pungutan liar yang tidak lain bagian dari korupsi. Dalam menjalankan upaya pemberantasan korupsi, penegahk hukum tidak bisa sendiri, dikarenakan penegak hukum tidak memiliki wewenang menentukan nilai kerugian untuk dibawa ke ranah hukum, sehingga memerlukan bantuan dari lembaga yang berwenang seperti BPK RI, BPKP dan Inspektorat, sekalipun dalam prakteknya mash ditemukan perdebatan mengenai lembaga mana yang memiliki kewenangan penentuan kerugian negara.
Ada istilah bahwa lidi yang diikat menjadi satu lebih berdayaguna dan berhasil guna dari pada lidi yang tercerai berai.  Perlu ada penyatuan fungsi pemberantasan korupsi pada satu lembaga yang ditunjuk secara khusus mengkoordinir gerakan pemberantasan korupsi, sehingga peperangan melawan korupsi tidak dilakukan secara sporadis, tapi terstruktur, terkoordinir, terarah dan terukur. Katakanlah KPK diberikan kewenangan khusus menangani kasus Tipikor, sedangkan lembaga lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan diberikan kewenangan pidana selain Tipikor, namun kedua lembaga itu tetap saling bersinergi dan bekerja sama, baik kerjasama personil maupun fasilitas. Karena lembaga penegak hukum dan pengawasan itu saudara kandung dari rahim yang sama, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bergandengan tangan lebih baik, sekalipun lebih harus banyak bersabar.

LEMBAGA ANTI KORUPSI YANG PERNAH ADA DI INDONESIA

Saat ini hampir seluruh lapisan masyarakat pernah mendengar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepak terjang KPK menangkap pelaku korupsi, hingga perdebatan Jaksa dari KPK pada sidang tipikor maupun praperadilan kerap menghiasi media massa di tanah air. Namun tidak banyak yang mengetahui perjalanan lembaga anti korupsi yang pernah dibentuk selain KPK. Sejarah mencatat, pemberantasan korupsi melalui pembentukan lembaga yang khusus menangani perkara ini telah dimulai sejak tahun 1960. Namun, dikarenakan berbagai pertimbangan lembaga-lembaga itu berganti nama maupun struktur serta tupoksi nya. Berikut ini lembaga-lembaga anti korupsi yang pernah dibentuk di Indonesia :
  1. Panitia Retooling Aparatur Negara (1960)
Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk untuk melakukan penindakan penyimpangan yang dilakuakn apartur negara. Paniti ini beranggotakan A.H Nasution, Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Panitia ini tidak efektif dikarekana banyak perlawanan dari pejabat yang korup, sehingga menyerahan kembali pelaksanaan tugas ke Kabinet Djuanda.
  1. Operasi Budhi (1963)
Setelah Pembubaran PARAN, penyelewengan yang dilakukan semakin marak, maka melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963 dilaksanakan “Operasi Budhi”, operasi ini dipimpin oleh A.H Nasution yang pada saat itu juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Tujuan operasi ini adalah untuk menangkap pelaku penyimpangan yang dilakukan oleh Staf ABRI. Operasi ini dirasa kurang efektif, sehingga  dibubarkan dan diganti dengan Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dipimpin Presiden Soekarno dibantu Letjen Ahmad Yani.
  1. Tim Pemberantasan Korupsi (1967)
Pada tahun 1967, presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) melalui Kepres No. 228/1967 dimana  tim ini beranggotakan Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ini kemudian berhasil menyeret 9 orang yang diduga melakukan penyelewengan.
  1. Komisi Empat (1970)
Untuk keberlangsungan pemerintahan yang efektif, maka perlu dibentuk suatu lembaga yang dapat memberikan penilaian yang objektif dan membangun, sebagai bahan evaluasi. Pada Tahun 1970 Presiden Soeharto membentuk “Komisi Empat”, sebuah lembaga yang beranggotakan Mantan Wakil Presiden M. Hatta sebagai penasihat, mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes, Anwar Tjokroaminoto dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono. Selain melakukan penilaian terhadap kinerja pemerintah, tugas komisi ini juga memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai langkah-langkah dan kebijakan pemberantasan kosupsi. Kinerja lembaga ini kurang bergema, hal ini dikarenakan selama kurun waktu 1970 – 1977 hanya mampu mengungkap 2 (Dua) pejabat yang terindikasi korupsi, sedangkan sisanya kasus kecil yang banyak tidak ada kelanjutannya.
  1. Komite Anti Korupsi (1970)
Pada Tahun 1970 dibentuk Komisi Anti Korupsi yang anggotanya terdiri dari apar aktifis mahasiswa angkatan 66, namun komisi ini dibubarkan dua bulan berikutnya.
  1. Operasi Penertiban – OPSTIB (1977)
Berdasarkan Inpres Nomor  Tahun 1977, Pemerintah melaksanakan Operasi Penertiban yang beranggotakan kepolisian, kejaksaan, dan ABRI. Operasi ini cukup efektif menindak ribuan pegawai yang terindikasi melakukan penyimpangan dan mampu menyelamatkan uang negara sebanyak 200 milyar
  1. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999)
Pada Era Presiden Bj Habibie, dibentuk melalui Keppres No. 27 Tahun 1999 dengan tugas melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara, berdasarkan UU No 30 Tahun 2022 lembaga ini kemudian menjadi subbagian pencegahan dalam Komisi Pemberantasan Korupsi.
  1. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000)
Di masa pemerintahan Presdien keempat, dibentuklah lembaga sementara yang memiliki tugas pemberantasan korupsi. Lembaga yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat dinamakan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), namun dikarenakan lemahnya koordinasi antara anggotanya, TGPTPK tidak efektif dalam pemberantasan korupsi. Salah satunya ditolaknya permintaan untuk kasus BLBI oleh Kejaksaan Agung. Umur Tim ini berakhir pada tahun 2001 atas gugatan “judicial review oleh tiga orang hakim agung yang pernah diperiksa oleh TGPTPK.
  1. Komisi Pemberantasan Korupsi (2002)
Lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2002 menjadi awal terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diawal pembentukannya, KPK beranggotakan Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas dan  Tumpak Hatorang. KPK memiliki wewenang penuh dalam pemberantasan korupsi dimulai dari wewenang pencegahan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penindakan, monitoring hingga adanya pengadilan Tipikor yang dipimpin oleh Hakim Tipikor. Selain itu Lembaga ini juga memiliki kewenangan untuk menyadap dan merekam hal-hal yang berhubungan dengan Tipikor tanpa seizin pengadilan. Terdapat pro-kontra terhadap keberadaan lembaga ini, diantaranya adanya pendapat yang mengatakan bahwa lembaga ini adalah lembaga Ad Hoc yaitu lembaga sementara yang berdiri untuk memberantas korupsi menggantikan peran Kepolisian dan Kejaksaan, sehingga KPK bisa saja dibubarkan sewaktu-waktu. Namun ada pula yang menyatakan bahwa ad hoc bukan lah “Sementara”, namun lembaga yang memiliki peran “Khusus” pemberantasan korupsi. Berdasarkan data ACCH, Per 30 Juni 2017,total penanganan perkara tindak pidana korupsi yang diaukan oleh KPK dari tahun 2004-2017 adalah penyelidikan 896 perkara, penyidikan 618 perkara, penuntutan 506 perkara, inkracht 428 perkara, dan eksekusi 454 perkara.
  1. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – Timtas Tipikor (2005)
Lahirnya Keppres Nomor 11 Tahun 2005, menjadi dasar pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tim memiliki tugas dan wewenang yang hampir sama dengan KPK yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi dan mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal. Tim ini berjalan kurang efektif, selama periode pembentukan hingga pembubarannya belum tampak hasil yang signifikan.
Begitu banyaknya upaya pemerintah dari Orde Lama, Orde Baru hingga orde Reformasi untuk memberantas korupsi, namun sepertinya korupsi semakin menggurita. Wacana terkini sebagai upaya pemberantasn korupsi adalah dengan memperkuat Aparat Pengawasan Internal. Penguatan peran APIP ini diharapkan mampu memberikan sinyalemen jika ada indikasi korupsi yang sedang berlangsung, sehingga porsi penindakan yang telah dilakukan sejak orde lama hingga sekarang, akan digantikan dengan digiatkannya porsi pencegahan.
Oleh : Riandy Syarif

Source : https://riandysyarif.wordpress.com/2017/10/12/lembaga-anti-korupsi-yang-pernah-ada-di-indonesia/

Tags